Berikut ini kami sajikan Silsilah Raja dan Sultan Sunda dari mulai Salakanagara sampai kesultanan BantenSalakanagaraTarumanagaraSunda GaluhPajajaranSumedang LarangKesultanan CirebonKesultanan Banten1. SALAKANAGARARajatapura atau Salakanagara (Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta sebagai kota tertua di Pulau Jawa. Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M, ibukota kerajaan di Rajatapura (Mandalawangi) Pandeglang, Banten . Kota ini sampai tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
1. Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara (Dewawarman I) (130-168 M.)
2. Prabhu Digwijayakasa Dewawarmanputra (Dewawarman II) (168-195 M.)
3. Prabhu Singhasagara Bhimayasawirya (Dewawarman III) (195-238 M.)
4. Prabhu Dharmasatyanagara (menantu Dewawarman III) (Dewawarman IV) (238-252 M.)
5. Prabhu Amatyasarwajala Dharmasatyajayawarunadewa (menantu Dewawarman IV) (Dewawarman V) (252-276 M.) Rani Mahisasuramardini Warmandewi (Permaisuri Dewawarman V) (276-289 M.)
6. Prabhu Ganayana Dewalinggabhumi (Dewawarman VI) (289-308 M.)
7. Prabhu Bhimadigwijaya Satyaghnapati (Dewawarman VII) (308-340 M.)
Rani Sphatikarnawa Warmandewi (Permaisuri Dewawarman VII) (340-348 M.)
8. Prabhu Dharmawirya Dewawarman Sakalabhuwana (menantu Dewawarman VII) (Dewawarman VIII) (348-363 M.) Raja terakhir Salakanagara karena selanjutnya digantikan dengan berdirinya Kerajaan Tarumanagara.
2. TARUMANAGARABerikut adalah raja-raja Tarumanagara :
1. Jayasingawarman (358 - 382)
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salangkayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada. Setelah Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
2. Dharmayawarman (382 - 395 M) Dipusarakan di tepi kali Candrabaga.
3. Purnawarman (395 - 434 M)
Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?) di Jawa Tengah. Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
4. Wisnuwarman (434-455)
5. Indrawarman (455-515)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535 - 561 M)
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
8. Kertawarman (561-628)
9. Sudhawarman (628-639)
10. Hariwangsawarman (639-640)
11. Nagajayawarman (640-666)
12. Linggawarman (666-669)
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
13. Tarusbawa (669 – 723 M)
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke- 13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya, untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari kekuasaan Tarusbawa. Karena Putera Mahkota Galuh (Sena or Sanna) berjodoh dengan Sanaha puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jepara, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.
3. KERAJAAN SUNDA GALUHBerikut adalah raja-raja Sunda Galuh Ibukota kerajaan di Pakuan Bogor:
1. Tarusbawa (670 – 723 M)
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cikalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda.
2. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama (723 – 732M)
Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda.Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh. Sebagai ahli waris Kalingga, SANJAYA kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi MATARAM dalam tahun 732 M. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu). Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban.
3. Tamperan Barmawijaya / Rakeyan Panaraban (732 - 739 M)
Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, Raja Kerajaan Mataram (Hindu) ke 2, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi SAMBARA.
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no.11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M), berkedudukan di Galuh.
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030‚ - 1042 M ), berkedudukan di Pakuan.
Pada masa itu Sriwijaya / orang Melayu menjadi momok yang menakutkan. Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya, melakukan hubungan pernikahan antara raja ke 19, Prabu Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja WURAWURI. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Dharmawangsa (adik Dewi LAKSMI isteri AIRLANGGA). Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya (DHARMAWANGSA). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak. Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya (Dharmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus 'menyaksikan' Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Sriwijaya sendiri musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India. Tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya, dan berkuasa selama dua ratus tahun. Dua abad kemudian, kedua kerajaan tersebut menjadi taklukan kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Senopati Mahisa / Kebo / Lembu ANABRANG, dalam ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2, dengan pertimbangan untuk mengamankan jalur pelayaran di selat Malaka yang sangat rawan Bajak Laut setelah runtuhnya Sriwijaya di tahun 1025. Mahisa Anabrang yang menikah dengan DARA JINGGA (anak dari Raja Kerajaan Melayu Jambi, MAULIWARMADHEWA), adalah ayah dari Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung. Dara Jingga dikenal juga sebagai BUNDO KANDUANG dalam hikayat Kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau. Mungkin istilah MINANG-KABAU berasal dari adanya KEBO (KEBO / Mahisa / Lembu ANABRANG) yan me-MINANG putri Raja Kerajaan Dharmasraya / Kerajaan Melayu Jambi.
21. Raja Sunda ke 21 berkedudukan di Galuh
22. Raja Sunda ke 22 berkedudukan di Pakuan
23. Raja Sunda ke 23 berkedudukan di Pakuan
24. Raja Sunda ke-24 memerintah di Galuh
25. PRABU GURU DHARMASIKSA, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan.
Beliau mempersiapkan RAKEYAN JAYADARMA, berkedudukan di Pakuan sebagai PUTRA MAHKOTA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3:
RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI. Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Rakeyan Jayadarma mati dalam usia muda sebelum dilantik menjadi raja. Konon beliau diracun oleh saudara kandungnya sendiri. Akibatnya Dyah Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan, karena khawatir dengan keselamatan dirinya dan anaknya. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda yang ke-26.
26. Prabu Ragasuci (1297 – 1303M)berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis.
Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA, dari kerajaan SINGHASARI di Jawa Timur.
27. Prabu Citraganda (1303 – 1311 M), berkedudukan di Pakuan.
Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
28. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333), berkedudukan di Kawali.
29. Prabu Ajiguna Wisesa (1333 - 1340), berkedudukan di Kawali, adalah menantu Prabu Lingga Dewata.
Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333 - 1482 adalah ZAMAN KAWALI dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
30. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357).
31. MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA, adik Prabu Lingga Buana.
Ada yang menyebut PRABU KUDA LALEAN. Dalam BABAD PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung).
32. Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana(1371-1475).
Ia adalah anak Prabu Lingga Buana, dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar PRABU DEWA NISKALA). Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475,
kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. JAYADEWATA, putera Dewa Niskala mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI GEDENG SINDANGKASIH). Kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA yang menjadi Raja Singapura). Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH. Kemudian memperistri KENTRING MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. Di tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
JAYADEWATA memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Ratu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Raja-Raja Sunda yang menjadi Raja di Mataram dan Majapahit
Jadi ada dua penerus sah dari tahta KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
1. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama, raja ke 2 Kerajaan Sunda-Galuh(723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan Mataram (Hindu) (732 - 760M). Ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya. 2. Raden Wijaya, penerus sah Kerajaan Sunda ke – 26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari menjadi Raja Majapahit pertama (1293 – 1309 M).
4. PAJAJARANBerikut adalah raja-raja Pajajaran:
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
2. Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3. Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4. Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5. Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6. Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.
Raja-Raja Pajajaran, seperti juga Raja-Raja Singasari, Majapahit, Dharmasraya, dan Pagaruyung periode awal, beserta para pembesarnya adalah pengikut sekte keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan.
Berakhirnya zaman Pajajaran (1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
5. KERAJAAN SUMEDANG LARANGKerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Perubahan Corak kerajaan Hindu menjadi kerajaan Islam di perkirakan sekitar Abad ke 15 M
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
1. Prabu Guru Aji Putih 900
2. Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950
3. Prabu Gajah Agung 980
4. Sunan Guling 1000
5. Sunan Tuakan 1200
6. Nyi Mas Ratu Patuakan 1450
7. Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578 (Kerajaan Islam)
8. Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601 (Kerajaan Islam)
6. KESULTANAN CIREBONSejarah Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
1. Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
2. Sunan Gunung Jati (1479-1568)
3. Panembahan Ratu I (1570-1649)
4. Panembahan Ratu II (1649-1677)
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
* Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
* Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723) * Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
7. KESULTANAN BANTENSejarah Anak dari Sunan Gunung Jati atau Fatahillah (Faletehan) yaitu Maulana Hasanudin menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara. Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kesultanan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kesultanan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kesultanan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
1. Sunan Gunung Jati
2. Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
3. Maulana Yusuf 1570 - 1580
4. Maulana Muhammad 1585 - 1590
5. Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.
6. Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
7. Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
8. Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
9. Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
10. Abdul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
11. Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
12. Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
13. Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
14. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
15. Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
16. Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
17. Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
18. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
19. Aliyuddin II (1803-1808)
20. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
21. Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
22. Muhammad Rafiuddin (1813-1820) Raja terakhir di buang ke Surabaya Jawa Timur.